Habis akal aku dibuat ling-lung oleh sosok yang seakan-akan ia tidak tahu kemana arah hidup. Tidak usah dipungkiri, bahkan ia lebih tahu betul bagaimana cara untuk memaknainya. Untuk mempertahankan suatu yang berharga tanpa meninggalkan luka juga sulit aku coba. Untuk berdiri dengan siapa yang aku pilih ada saja yang sulit ia raih.
Perhatian?
Mungkin sejak dulu kamu haus akan perhatian...
Bertahan, ketakutan, sendirian.
Sadarkah kamu dengan siapa aku ingin bersandar, dengan siapa aku ingin merajut mimpi, dan dengan siapa aku ingin berbagi meski terkadang terasa hambar?
Ketidakpedulianku tidak cukup menjadi alasan agar kamu berhenti untuk terus berbicara yang tidak pasti. Sedikit kata tidak mampu mewakili segudang penjelasan yang terkadang mati memiliki arti memaki. Mungkin, bagimu. Seharusnya kamu sadar, di saat aku ingin dihargai aku harus memulai berbagi. Seharusnya kamu sadar, hatiku dulu yang sempat diporak-porandakan sudah tersusun rapi oleh pujaan hati yang menyesali.
Bukan niatku datang hanya untuk berbagi kedukaan lalu pergi membawa kesenangan, yang perlahan kamu rajut dengan indahnya benang kasihmu, lalu aku putuskan sisa yang masih menyatu bersamamu. Tapi aku sadar mulai sekarang aku harus membuat jarak agar suatu saat nanti aku tidak terjerat oleh kelakuanku sendiri. Paham kita berbeda mengenai sebuah arti. maaf jika kamu merasa merugi dengan kelakuanku yang hanya bisa datang dan pergi.
Ironi, mulai detik ini kita tidak akan kenal satu sama lain lagi.
Terima kasih telah meneteskan cahaya di awal perkenalan. Kini aku bawa segudang cahaya di perpisahan kita. Mungkin sekarang cahaya itu redup lambat melaju. Nanti kamu akan tahu betapa cemerlangnya cahaya itu.