Friday, June 15, 2012

Perpisahan daging dan tulang

Sudah jelas kita harus berpisah
tapi anginpun malas membahasnya
menyampaikan padamu
pada dunia

Sudah jelas kita tidak mungkin terus begini
begitu
bagaimana lagi

Daging dan tulang tulang punya dunia sendiri
Kita telah melakukan terbaik, - minimal terpaksa
Dan aku harus menyelesaikan perjalananku
sama kau juga akan melanjutkan hari-hari yang kau senangi

Tanpa menyesal, tanpa sedikitpun air mata,
sedikitpun rasa sedih
tidak ada yang harus menderita sesudah ini.

Aku sudah tahu kita akan saling meninggalkan
seperti ibu meninggalkan ayah, kakek menjauhi nenek
Kita juga akan semakin menjauh, -setindak demi setindak

Awan-awan bergerak mengejar hujan pulang ke bumi
Kita juga bergerak, -tidak sebutir debu menempel
pada pohon, dahan, dan ranting untuk selamanya.

Tetapi, sayangku; beranikah daging meninggalkan tulang?
meski akhirnya salah satu harus bertahan?

Desember 2011
karya: Eka Budianta.

sangat mewakili perasaan, tuan...

Wednesday, June 13, 2012

Ambigu

Sepasang muda-mudi di bingkai
meneror sastra tanpa sajak
paku menusuk mengurai nadi
waktu di dinding semakin menjadi

harmonikaku nyaring terdengar
terbawa oleh angin tipuan
seolah surya enggan menyapa
kuterbawa oleh suasana

nada minor yang kau tawarkan
mengurai bala di tengah pusara
elegi fajar di kala senja
mengundang gagak bulan tertawa

rasa iba terhadap aku
saling umbar sumpah palsu
terdesak hingga membisu
lalu berucap sajak ambigu

tatapan nanar kian mencemar
seruan maut hingar bingar
masih adakah suara terpapar?

buyar.

Tuesday, June 12, 2012

Kusam

Gumpalan asap bergabung ke langit kelam
sebuah isyarat membuat suram
inginku terbang dan menyelam
bersama keheningan malam

Terisi mengapa teriris?

Di halaman kecil ini
tak sabar kusambut datang matahari
mulai kabur pandangan remuk sendi-sendi

suara televisi di dalam ruangan
suara air mengalir di taman
suara nyanyian anak lelaki di kamar
sulit kudengar

tidak pasti?
harus bersama imajinasi dan ilusi?

oh deru suara pantai....
di balik setitik emosi
tetaplah berbunyi, jangan berhenti

kini aku bagai gulungan ombak
tetapi sakit tertimpa tombak
batu karang yang keras
tak lama lapuk tak selaras

sungguh manis
seharusnya terisi mengapa teriris?

melintas lagi lalu terlindas
realita
oh realita...

Semakin.....

Semakin mendalam semakin terdiam
Semakin dipaksa semakin tak berharga
Semakin bercahaya semakin tak menyala
Semakin dituruti semakin sulit mendaki
Semakin bertahan semakin terasa hempasan
Semakin setia semakin hilang kata-kata
Semakin memberi waktu semakin kelabu
Semakin berharap semakin terlihat gelap
Semakin aku menyerah, kemana arah?